Dua bak sampah saling berpandang, lalu bersungut-sungut.
Percakapan homofon dimulai, saling berkeluh kesah.
“aku butuh makan, tapi tidak sebanyak ini”
“kau masih enak, makananmu kelas atas, empunyaku hanya penulis lepas, sedang kau
untuk orang kaya. dia memberiku bungkus mie instan setiap hari”
“kau bilang enak? Mereka selalu
memberiku makanan basi, dan setiap pagi, anak-anak kumal itu mengaduk-aduk isi
perutku. Seharusnya mereka membuang, bukan mengambil dari kita”
‘kau masih ada orang yang
menengok, setiap hari hanya ludah mereka yang menyambangiku”
“ah apa yang kita terima tetap
sama-sama sampah, sampah”
“aku ingin pergi”
“Aku juga”
Lalu mereka saling berangkulan,
melenggang pergi meninggalkan rumah masing-masing. Beranjak menuju bukit. 1
minggu kemudian, dilihatnya rumah mereka dari atas bukit ilalang, sampah ada
dimana-mana. Sungai, parit, tepi jalan, gang-gang kumuh. Tiba-tiba terdengar
suara bergemuruh, dan teriakan orang-orang, “banjir datang, naik ke tempat yang
lebih tinggi, banjir-banjir”
Dua bak sampah itu tertunduk
layu, berangkulan dan kembali turun. Kembali pada kodrat masing-masing.
Ditengah perjalanan, mereka bertemu dengan orang-orang yang sedang menaiki
bukit, tempat dimana benda dan orang-orang lupa tempatnya, tempat untuk
menekuri garis hidupnya.
No comments:
Post a Comment