Thursday, November 29, 2012

KITA SUDAH MATI, IBU

baru tadi pagi, berita tentang kita disiarkan hampir semua surat kabar ibu. Tidak  pernah aku dikenal oleh orang sebanyak ini. banyak orang membaca cerita kita dengan takdzim dihadapan sarapan mereka, sarapan yang hanya bisa kita bayangkan. Mungkin karena cara mati kita yang begitu hebat ibu. Aku yakin bukan karena alasan mengapa kita membunuh diri, aku yakin itu. Foto yang mereka pasang, bukan saat ibu menggendongku dalam keadaan busung lapar, tetapi saat aku dalam pelukanmu padahal kita sudah menjadi abu. Mungkin juga di negeri ini, sebuah kematian dengan cara-cara yang aneh menjadi lauk terbaik untuk sarapan mereka. Dan tangis kita hanya kicauan yang harus terus bergema agar kota besar tidak hilang kesaktiannya. Siapa yang kuat boleh tinggal semaunya, pun untuk menggusur yang dinilai tidak menghasilkan apa-apa untuk pembangunan kota. Kita ibu, kita salah satu dari yang tidak menghasilkan apa-apa itu.
Dalam beberapa jam kemudian, kita menjadi orang terkenal. Orang-orang mulai riuh membicarakan kita. Di televisi-televisi, mereka membentuk sebuah forum diskusi yang membahas mengapa masih ada orang seperti kita sedangkan negara mengaku perekonomian sedang meningkat. Mereka saling melemparkan pertanyaan, lalu dijawabnya dengan mengggebu-gebu, segala macam teori berhamburan di diskusi itu. Mereka  semua orang pintar ibu. Enak ya jadi orang yang pintar, hanya bicara saja dibayar, atau orang pintar memang hanya pandai bicara. Toh aku tidak pernah melihat mereka menyambangi gubuk kita dan melakukan apa yang dari tadi dibicarakannya. Pembual. Penipu, teori saja. Para pejabat pemerintah ikut ambil bagian, mereka berbondong-bondong menengok kuburan kita ibu, lucu sekali. Dan lihat, presiden kita juga berpidato tentang kematian kita. Dia tampak sedih ibu, kasihan ya. Mengapa semua orang begitu peduli setelah kita mati ibu. Kemana mereka selama ini. ketika kita hanya bisa menangis untuk mengganjal lapar kita, ketika ibu hanya bisa membeli seliter minyak tanah dan satu kotak korek api. Bukankah kematian menghentikan semuanya, bahkan untuk sebuah kepedulian. Mati ya mati, pulang ke pelukan tuhan, itu saja. Atau, memang sudah menjadi tradisi di negeri ini bahwa kematian seseorang lebih berarti dari hidup orang tersebut. Negeri aneh, berani mengaku merdeka sedangkan untuk peduli terhadap anak yang masih hidup saja tidak mampu. Tetapi seperti yang aku tahu, hal seperti ini tidak akan berlangsung lama. Hanya menjadi formalitas kenegaraan, rutinitas sepanjang tahun, santapan media yang hangat kemudian dibiarkan menghilang karena sudah basi. Sedang teman-temanku disana masih banyak yang mencoba menekuri garis hidupnya, sambil dihimpit rasa lapar yang selalu tamak. Ya, hanya sesaat kemudian hidup akan berjalan seperti biasanya. Perubahan, cita-cita reformasi katanya ibu. Perubahan kekuasaan iya, perubahan keadilan, aku tidak yakin.
Kita sudah mati ibu. Dan diatas sini aku bisa melihat jelas semuanya. Melihat kepura-puraan yang terus berlangsung. Dari sini, aku bisa tertawa ngakak. Manusia ternyata memang lucu kalo dilihat dari atas sini. Pantas saja malaikat selalu bahagia, terhibur melihat kekonyolan-kekonyolan yang terjadi. Kita sudah mati ibu, dan hanya cara itu yang bisa kita lakukan untuk menuntaskan hidup yang tak kunjung tuntas. 

Saturday, November 24, 2012

jejak laku buruh wanita

jaman boleh saja berubah
namun perjuangan tetap milik kaum marsinah
Wajah-wajah ayu tertutup masker
berharap peluh tertukar beras seliter

jaman boleh saja canggih
Namun buruh tetap saja kalah menagih
Setiap menagih upah
Tuan bilang kerja mereka payah
Setiap menagih janji
Dengan pemerintah mereka kalah taji

wanita Lelakon emansipasi
Hidup tak harus bergantung pada lelaki

Dikaki kuat buruh wanita
bagaimanapun surga dibawanya
Wajah ayu didera lembur
Tanda periuk tak boleh berjamur

asap pabrik harus menguar
Agar asap dapur tetap mengebul

Di kantuk lelah mata buruh
Tuhan menyala penuh

Dalam mata kantuknya, mata pencaharian mengutuknya