Kini aku hampir
tidak punya apa-apa lagi. Bahkan semacam rasa trenyuh yang ingin aku selipkan
untuk sekedar menjadi tanggul air mataku. Tidak ada lagi semangat yang menguar
ketika pagi, tidak ada lagi kalimat-kalimat istirah saat siang, tidak ada lagi doa-doa
yang kudus saat malam. Aku benar-benar habis. Benteng yang aku dirikan dengan
hati-hati, runtuh hanya dengan satu kilatan peristiwa. Dan kamu tahu, banyak
lipatan kenangan yang tersimpan rapi dalam ingatanku, tentu kamu ada
didalamnya. Aku benar-benar takut, aku lebih memilih untuk menghabiskannya
daripada menyimpan itu semua. Kalau pun ada yang menginginkannya, ambilah, aku
tidak begitu peduli. Aku hanya ingin menghabiskannya, menghabiskannya.
Gelap ini dimulai
dua puluh tahun lalu, ketika aku bersandar di bahu jalan
dengan rengekan yang
parau, menahan lapar setelah berhari-hari terdampar di sebuah kota yang asing.
Jauh sebelum itu, ayahku mati dengan cara yang tidak pernah aku mengerti. Jika
bukan karena tanda lahir di dada kanan ayah, mayat itu tidak pernah kami
kenali. Menurut desas desus ayahku ikut organisasi yang menantang orde baru.
Dan aku benci itu, aku benci desas-desus, aku benci sesuatu yang tidak pasti.
Sesuatu yang dibuat untuk menyebut bahwa inilah kekuasaan yang akan dengan mudah
memutuskan apa saja, bahkan kematian manusia. 3 tahun kemudian, saat aku sedang
jenak mengikuti pelajaran matematika. Itu adalah kali pertama bu Mirah
mengajarkan bagaimana penjumlahan dan pengurangan, ibuku ditemukan mati di
sungai. Kata pak sholeh, mantri di desaku, ibuku mati karena kelelahan. Aku
tahu, ibu sudah berkali-kali menunjukkan kelelahannya saat menidurkanku dengan
dongeng-dongeng, sesekali juga diiringi air mata yang aku rasakan saat ibu
menciumku ketika aku terlelap. Kemudian aku dititipkan ditempat salah satu
saudara dari ayahku. Di rumah itu, kamu akan lebih sering mendengar
piring-piring pecah daripada suara lembut yang menyuruhmu berdoa dulu sebelum
makan, kamu akan lebih sering mendapatkan biru lebam ditubuhmu, daripada
kecupan hangat di pagi hari sebelum kamu berangkat ke sekolah, kamu akan lebih
sering mendengar teriakan yang menakutkan, daripada dongeng-dongeng yang dulu
selalu ibu lakukan menjelang aku tidur. Kadang hidup akan mengatakan bahwa
menjalani saja tidak cukup untuk bertahan, aku lebih ingin menghindar.
Hingga aku ada
dikota ini, dan tak perlu kau tanyakan lagi bagaimana dan mengapa aku sampai di
kota ini. Kota yang asing. Kota asing yang aneh. Tidak ada salam sapa, senyum
ramah, bahkan sekedar belas kasihan. Semua orang serba tergesa-gesa, marah,
tergesa-gesa. Lalu apa lagi yang bisa aku lakukan selain menangis. Setidaknya
jika aku mati, aku sudah meloloskan semua malapetaka itu dengan tangisan.
Tetapi tiba-tiba kamu berdiri di depanku dengan senyum kanak-kanak. Dan itu kali
pertama kita bertatap muka. – Jangan menangis, disini suara anak yang menangis,
lebih-lebih anak perempuan sepertimu hanya sebagai musik latar yang harus
selalu ada-. Ah, kata-katamu berdentum berkali di telingaku. Dan ya, sorot
matamu, sorot mata yang mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Aku
tentram.
Lalu kamu
mengajakku untuk bangkit. Kamu mengajarkan bagaimana bertahan hidup di kota
ini. Kota yang dibangun dengan mesin-mesin dan lampu warna-warni. Hari itu
juga, kamu mengajakku berjualan koran, tentu saja aku sangat senang, kamu baik
sekali. Kamu seperti menyodorkan sepoci harapan yang tak akan habis untuk
dituang berkali-kali. Ada semacam pagi yang membuncah didadaku.
Bertahun-tahun
hidup denganmu, dijalan ini, membuatku harus tahu dengan sendirinya siapa kamu.
Menurutku kamu terlalu pintar untuk seorang anak yang dibesarkan oleh deru
mesin dan derap kota yang tak pernah ramah. Kamu mengerti sekali tentang
politik, isu-isu politik dan bagaimana itu diciptakan. Kita terlihat sering bersama, selalu bersama,
menyisihkan sebagian hasil berjualan koran ditempat yang sama, di sebuah kaleng
susu yang kamu selipkan di celah sebuah toko roti. Adakah dari dirimu yang
membuatku sangat terkesan? Ada. Namamu. Nama yang kamu pilih sendiri dengan
cermat dan sempurna. Nama yang seakan-akan mengatakan kepada dunia bahwa kamu
tidak akan pernah bisa dikotak-kotakkan atau dirumuskan, bahkan hanya soal
pemberian nama. Tegar. Ah indah sekali. Kamu pernah bercerita bahwa dulu saat
kamu berada di sebuah panti asuhan, kamu tidak pernah dipanggil dengan nama
yang kamu pilih itu. Mereka lebih senang memanggilmu dengan nama yang diberikan
oleh pengasuhmu. Karena itulah kamu memutuskan untuk hidup di jalan ini. Aku
tidak pernah mengerti apa yang kamu risaukan soal itu. Dan waktu aku menanyakan
itu, matamu memerah, tampak ingin mengeluarkan sesuatu yang kamu tahan begitu
lama,- itu bukan hanya soal nama, tetapi pilihan, kadang kamu harus memaksakan
apa yang kamu anggap baik untuk dirimu meski itu dengan cara-cara yang konyol!!-
ah suaramu meninggi. Aku tidak jenak, suasana menjadi hening. Aku ingin meminta
maaf, tetapi suaramu lebih dulu menyambar pikiranku,-aku minta maaf-.
Aku juga ingat
waktu kita masih hidup di jalan, kita selalu memlilih untuk tidur di depan
sebuah toko material, itu karena pemiliknya baik kepada kita. Dia membangunkan
kita dengan bijak. Dia juga tidak segan-segan berbagi sarapan dengan kita. Sangat
jarang menemukan orang seperti itu di kota ini, katamu. Dan menjelang tidur,
kamu akan bercerita apa saja yang kamu ketahui. Juga sesuatu yang baru kamu
ketahui tadi pagi dari koran-koran yang kita jual. Aku senang sekali waktu kamu
menjelaskan rasi-rasi bintang. Lalu aku selalu bertanya siapakah yang
menciptakan bintang-bintang yang indah itu. Kamu akan nyengir dan menjawab
seenaknya, –aku belum kenal-. Aku ingin mengenalnya. Lalu kamu akan menjawab
besok kita akan mencarinya, jika sempat. Seingatku, aku hanya mempunyai satu
sore yang sempurna. Itu adalah ketika kamu meminangku. Dan mungkin ini yang
belum sempat aku ceritakan kepadamu, aku sudah menyukaimu sejak kita sering
terlelap didepan toko material, lalu akan membicarakan apa saja yang kamu
ketahui. Lebih dari sekedar suka mungkin. Tetapi seperti yang sudah-sudah, kamu
lebih dulu menyengatku. Sore itu kamu membawakan serumpun bunga yang kamu petik
dari taman kota. Lalu kamu berkata bahwa mengambil bunga di taman kota itu
lebih sulit daripada membelikan aku sebuah cincin. Ya aku tahu itu. kamu tampak
kelelahan, petugas-petugas berseragam itu tidak akan merelakan bunga yang
mereka rawat dengan hati-hati diambil oleh anak jalanan sepertimu. Dan kamu
memaksaku untuk menjawab apakah aku mau menikah denganmu. Aku sangat senang,
bahagia lebih tepatnya. Tapi menikah bukan perkara mudah, aku juga memimpikan
kehidupan rumah tangga seperti orang kebanyakan. Kamu mengangguk mengerti. Dua
bulan setelah itu,kamu mengajakku untuk membuka kaleng susu yang kita simpan di
celah toko roti, itu cukup untuk menyewa sebuah rumah yang sederhana, katamu.
Saat itu juga aku ingin berteriak bahwa aku memliki kehidupan yang nyaris
sempurna. Aku benar-benar limbung, dan aku akan menikah.
Bertahun kita
menggelar sebuah keluarga yang sangat bahagia. Sarapan pagi dengan doa-doa yang
kudus, bercengkrama kala siang menancapkan lelahnya, tidur dengan khidmat agar
esok Tuhan memberikan kembali sebuah sarapan yang agung. Sebuah toko buku kecil
di samping rumah berhasil kita bangun. –dengan toko buku ini, hidup kita
menjadi lebih penting, hidup kita tidak hanya sekedar biasa, kita adalah
jendela bagi mereka-. Aku ingin berkata bahwa kamu sangat bijak, tapi itu
mungkin tak perlu, aku sudah berkata seperti itu berpuluh kali, dan berpuluh
kali pula kamu menggelengkan kepala pertanda bahwa kamu lebih setuju dikatakan
bahwa kamu sedang berusaha untuk bijak. Di toko buku itu, kita sering memperhatikan
dua pasangan yang tampak bahagia dengan masa mudanya. Kita sering menebak bahwa
mereka berdua akan menikah, mereka tampak serasi sekali. Kita juga sering
berbincang dengan kakek tua yang mencari buku-buku asing, buku-buku yang belum
pernah aku dengar. Katamu buku-buku yang dicari kakek itu adalah buku misteri
yang sangat langka, dan kamu akan menjelaskan dengan sopan kepada kakek itu
bahwa buku yang dicarinya mungkin tidak akan pernah ditemukan, apalagi di sebuah
toko buku seperti ini. Kakek itu mengangguk mengerti, lalu pergi berkeliling
dan mengambil satu buku dari rak dan kemudian membayarnya. Esok harinya kakek
itu akan kembali dan menanyakan buku-buku yang asing lagi, lalu berkeliling dan
mengambil satu buku dan kemudian membayarnya. Dan begitu seterusnya. Aku juga
sering berbincang dengan seorang ibu yang datang seminggu sekali ke toko kita.
Biasanya ibu itu datang ketika kamu pergi mencari buku-buku ke sebuah kota
untuk kita jual lagi. Ibu itu suka sekali memasak, dan juga novel yang
menceritakan tentang perempuan. Diam-diam aku menganggumi ibu itu. Dia begitu
menyayangi suami dan dua anaknya. Suami dan kedua anaknya suka sekali
masakannya. Lalu dia mencari buku masak agar keluarganya tidak bosan dan tidak ingin
mereka kecewa dengan masakan-masakannya.
Toko buku ini
semakin ramai saja. Banyak sekali wajah yang asing dengan ingatan kita. bahkan
kita tidak sempat untuk menghafal orang per orang yang datang. Mengamati
apalagi berbincang-bincang dengan pelanggan. Tetapi kamu juga masih sempat mendapat
banyak kenalan lewat toko buku ini. Beberapa diantarannya menawarkan buku-buku
yang bisa kita jual. Dan itu adalah awal dari gelap yang sebenarnya.
Hukum waktu
mengantarkan ceritanya sendiri. Semua itu kini menjadi ranjau yang merangsak
dadaku. Poci harapan dengan sendirinya habis setelah berkali-kali berhasil
kutuang. Dan keberangkatanmu menuju sebuah kota dengan teman yang kamu dapat
dari toko buku itu adalah harapan yang aku tuang terakhir. Entah mengapa, kamu
tiba-tiba mengatakan dengan nafas yang mengambang, dengan mengusap-usap perutku
yang tampak sudah membesar –kamu akan baik-baik saja nak,ibumu adalah orang
yang sempurna untukmu-. Aku tersentak. Dadaku berdegup dengan cepat. Namun aku
juga tidak bisa merumuskan apa-apa dengan kalimat yang kamu ucapkan itu. Baru
setelah 3 hari kepergianmu ke kota, pagi mengantar sebuah jawaban yang tidak
pernah aku inginkan. Kepulanganmu hanya diwakilkan oleh sebuah nama dan kabar
yang samar. Seorang pemuda yang aku kenal sebagai asisten temanmu itu memberi
tahuku bahwa mobil yang kamu tumpangi dengan beberapa orang teman terperosok ke
jurang. Kini kamu berada di sebuah rumah sakit dengan keadaan kritis. Kamu
terus memanggil-manggil namaku. Dan kini aku hanya bisa angluh. Aku tidak tahu
apa yang akan aku lakukan. Diriku ingin sesegera mungkin menemuimu dan menciumi
tangan lembutmu, dan berlama-lama disampingmu agar tangan gaib tak menyentuhmu
untuk saat ini. Tapi diriku yang lain dengan segera mengutukiku, bahwa aku tak
boleh mempunyai harapan lagi. Dan yang kedua yang akhirnya aku lakukan. Berdiam
dan menunggu di sebuah rumah lengang. Dan yang aku dapati memang hanya kabar di
sebuah senja yang menggetarkan lonceng peraduan, bahwa kamu sudah tidak
memanggil-manggil namaku lagi, sudah berhenti mengerang, mengejang dan meregang
lelah, dan mati. Hanya itu. Tidak lebih. Sedang aku semakin menjadi rajutan
dari kisah dan duka yang tak kunjung bisa aku tandaskan.
Aku kini tak lebih
dari seorang yang lingsut, seorang yang resah dan rapuh. Aku tidak punya
apa-apa lagi, bahkan tangis untuk mengakhiri ini semua. Aku memang tidak akan pernah mengerti, mengapa
hidup penuh dengan rahasia yang rasanya aku tak pernah bisa menjamahnya, hidup
dipenuhi dengan jawaban yang tidak pernah tuntas , bahkan kehidupan di sebuah
jalan yang beringas dan liar, kita dapat menemukan segala sesuatu, hal-hal yang
sering kita sebut, cinta.
No comments:
Post a Comment