Tuesday, July 24, 2012

CERPEN: GELAP YANG (TAK PERNAH) USAI


Kini aku hampir tidak punya apa-apa lagi. Bahkan semacam rasa trenyuh yang ingin aku selipkan untuk sekedar menjadi tanggul air mataku. Tidak ada lagi semangat yang menguar ketika pagi, tidak ada lagi kalimat-kalimat istirah saat siang, tidak ada lagi doa-doa yang kudus saat malam. Aku benar-benar habis. Benteng yang aku dirikan dengan hati-hati, runtuh hanya dengan satu kilatan peristiwa. Dan kamu tahu, banyak lipatan kenangan yang tersimpan rapi dalam ingatanku, tentu kamu ada didalamnya. Aku benar-benar takut, aku lebih memilih untuk menghabiskannya daripada menyimpan itu semua. Kalau pun ada yang menginginkannya, ambilah, aku tidak begitu peduli. Aku hanya ingin menghabiskannya, menghabiskannya.
Gelap ini dimulai dua puluh tahun lalu, ketika aku bersandar di bahu jalan
dengan rengekan yang parau, menahan lapar setelah berhari-hari terdampar di sebuah kota yang asing. Jauh sebelum itu, ayahku mati dengan cara yang tidak pernah aku mengerti. Jika bukan karena tanda lahir di dada kanan ayah, mayat itu tidak pernah kami kenali. Menurut desas desus ayahku ikut organisasi yang menantang orde baru. Dan aku benci itu, aku benci desas-desus, aku benci sesuatu yang tidak pasti. Sesuatu yang dibuat untuk menyebut bahwa inilah kekuasaan yang akan dengan mudah memutuskan apa saja, bahkan kematian manusia. 3 tahun kemudian, saat aku sedang jenak mengikuti pelajaran matematika. Itu adalah kali pertama bu Mirah mengajarkan bagaimana penjumlahan dan pengurangan, ibuku ditemukan mati di sungai. Kata pak sholeh, mantri di desaku, ibuku mati karena kelelahan. Aku tahu, ibu sudah berkali-kali menunjukkan kelelahannya saat menidurkanku dengan dongeng-dongeng, sesekali juga diiringi air mata yang aku rasakan saat ibu menciumku ketika aku terlelap. Kemudian aku dititipkan ditempat salah satu saudara dari ayahku. Di rumah itu, kamu akan lebih sering mendengar piring-piring pecah daripada suara lembut yang menyuruhmu berdoa dulu sebelum makan, kamu akan lebih sering mendapatkan biru lebam ditubuhmu, daripada kecupan hangat di pagi hari sebelum kamu berangkat ke sekolah, kamu akan lebih sering mendengar teriakan yang menakutkan, daripada dongeng-dongeng yang dulu selalu ibu lakukan menjelang aku tidur. Kadang hidup akan mengatakan bahwa menjalani saja tidak cukup untuk bertahan, aku lebih ingin menghindar.
Hingga aku ada dikota ini, dan tak perlu kau tanyakan lagi bagaimana dan mengapa aku sampai di kota ini. Kota yang asing. Kota asing yang aneh. Tidak ada salam sapa, senyum ramah, bahkan sekedar belas kasihan. Semua orang serba tergesa-gesa, marah, tergesa-gesa. Lalu apa lagi yang bisa aku lakukan selain menangis. Setidaknya jika aku mati, aku sudah meloloskan semua malapetaka itu dengan tangisan. Tetapi tiba-tiba kamu berdiri di depanku dengan senyum kanak-kanak. Dan itu kali pertama kita bertatap muka. – Jangan menangis, disini suara anak yang menangis, lebih-lebih anak perempuan sepertimu hanya sebagai musik latar yang harus selalu ada-. Ah, kata-katamu berdentum berkali di telingaku. Dan ya, sorot matamu, sorot mata yang mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Aku tentram.
Lalu kamu mengajakku untuk bangkit. Kamu mengajarkan bagaimana bertahan hidup di kota ini. Kota yang dibangun dengan mesin-mesin dan lampu warna-warni. Hari itu juga, kamu mengajakku berjualan koran, tentu saja aku sangat senang, kamu baik sekali. Kamu seperti menyodorkan sepoci harapan yang tak akan habis untuk dituang berkali-kali. Ada semacam pagi yang membuncah didadaku.
Bertahun-tahun hidup denganmu, dijalan ini, membuatku harus tahu dengan sendirinya siapa kamu. Menurutku kamu terlalu pintar untuk seorang anak yang dibesarkan oleh deru mesin dan derap kota yang tak pernah ramah. Kamu mengerti sekali tentang politik, isu-isu politik dan bagaimana itu diciptakan.  Kita terlihat sering bersama, selalu bersama, menyisihkan sebagian hasil berjualan koran ditempat yang sama, di sebuah kaleng susu yang kamu selipkan di celah sebuah toko roti. Adakah dari dirimu yang membuatku sangat terkesan? Ada. Namamu. Nama yang kamu pilih sendiri dengan cermat dan sempurna. Nama yang seakan-akan mengatakan kepada dunia bahwa kamu tidak akan pernah bisa dikotak-kotakkan atau dirumuskan, bahkan hanya soal pemberian nama. Tegar. Ah indah sekali. Kamu pernah bercerita bahwa dulu saat kamu berada di sebuah panti asuhan, kamu tidak pernah dipanggil dengan nama yang kamu pilih itu. Mereka lebih senang memanggilmu dengan nama yang diberikan oleh pengasuhmu. Karena itulah kamu memutuskan untuk hidup di jalan ini. Aku tidak pernah mengerti apa yang kamu risaukan soal itu. Dan waktu aku menanyakan itu, matamu memerah, tampak ingin mengeluarkan sesuatu yang kamu tahan begitu lama,- itu bukan hanya soal nama, tetapi pilihan, kadang kamu harus memaksakan apa yang kamu anggap baik untuk dirimu meski itu dengan cara-cara yang konyol!!- ah suaramu meninggi. Aku tidak jenak, suasana menjadi hening. Aku ingin meminta maaf, tetapi suaramu lebih dulu menyambar pikiranku,-aku minta maaf-.
Aku juga ingat waktu kita masih hidup di jalan, kita selalu memlilih untuk tidur di depan sebuah toko material, itu karena pemiliknya baik kepada kita. Dia membangunkan kita dengan bijak. Dia juga tidak segan-segan berbagi sarapan dengan kita. Sangat jarang menemukan orang seperti itu di kota ini, katamu. Dan menjelang tidur, kamu akan bercerita apa saja yang kamu ketahui. Juga sesuatu yang baru kamu ketahui tadi pagi dari koran-koran yang kita jual. Aku senang sekali waktu kamu menjelaskan rasi-rasi bintang. Lalu aku selalu bertanya siapakah yang menciptakan bintang-bintang yang indah itu. Kamu akan nyengir dan menjawab seenaknya, –aku belum kenal-. Aku ingin mengenalnya. Lalu kamu akan menjawab besok kita akan mencarinya, jika sempat. Seingatku, aku hanya mempunyai satu sore yang sempurna. Itu adalah ketika kamu meminangku. Dan mungkin ini yang belum sempat aku ceritakan kepadamu, aku sudah menyukaimu sejak kita sering terlelap didepan toko material, lalu akan membicarakan apa saja yang kamu ketahui. Lebih dari sekedar suka mungkin. Tetapi seperti yang sudah-sudah, kamu lebih dulu menyengatku. Sore itu kamu membawakan serumpun bunga yang kamu petik dari taman kota. Lalu kamu berkata bahwa mengambil bunga di taman kota itu lebih sulit daripada membelikan aku sebuah cincin. Ya aku tahu itu. kamu tampak kelelahan, petugas-petugas berseragam itu tidak akan merelakan bunga yang mereka rawat dengan hati-hati diambil oleh anak jalanan sepertimu. Dan kamu memaksaku untuk menjawab apakah aku mau menikah denganmu. Aku sangat senang, bahagia lebih tepatnya. Tapi menikah bukan perkara mudah, aku juga memimpikan kehidupan rumah tangga seperti orang kebanyakan. Kamu mengangguk mengerti. Dua bulan setelah itu,kamu mengajakku untuk membuka kaleng susu yang kita simpan di celah toko roti, itu cukup untuk menyewa sebuah rumah yang sederhana, katamu. Saat itu juga aku ingin berteriak bahwa aku memliki kehidupan yang nyaris sempurna. Aku benar-benar limbung, dan aku akan menikah.
Bertahun kita menggelar sebuah keluarga yang sangat bahagia. Sarapan pagi dengan doa-doa yang kudus, bercengkrama kala siang menancapkan lelahnya, tidur dengan khidmat agar esok Tuhan memberikan kembali sebuah sarapan yang agung. Sebuah toko buku kecil di samping rumah berhasil kita bangun. –dengan toko buku ini, hidup kita menjadi lebih penting, hidup kita tidak hanya sekedar biasa, kita adalah jendela bagi mereka-. Aku ingin berkata bahwa kamu sangat bijak, tapi itu mungkin tak perlu, aku sudah berkata seperti itu berpuluh kali, dan berpuluh kali pula kamu menggelengkan kepala pertanda bahwa kamu lebih setuju dikatakan bahwa kamu sedang berusaha untuk bijak. Di toko buku itu, kita sering memperhatikan dua pasangan yang tampak bahagia dengan masa mudanya. Kita sering menebak bahwa mereka berdua akan menikah, mereka tampak serasi sekali. Kita juga sering berbincang dengan kakek tua yang mencari buku-buku asing, buku-buku yang belum pernah aku dengar. Katamu buku-buku yang dicari kakek itu adalah buku misteri yang sangat langka, dan kamu akan menjelaskan dengan sopan kepada kakek itu bahwa buku yang dicarinya mungkin tidak akan pernah ditemukan, apalagi di sebuah toko buku seperti ini. Kakek itu mengangguk mengerti, lalu pergi berkeliling dan mengambil satu buku dari rak dan kemudian membayarnya. Esok harinya kakek itu akan kembali dan menanyakan buku-buku yang asing lagi, lalu berkeliling dan mengambil satu buku dan kemudian membayarnya. Dan begitu seterusnya. Aku juga sering berbincang dengan seorang ibu yang datang seminggu sekali ke toko kita. Biasanya ibu itu datang ketika kamu pergi mencari buku-buku ke sebuah kota untuk kita jual lagi. Ibu itu suka sekali memasak, dan juga novel yang menceritakan tentang perempuan. Diam-diam aku menganggumi ibu itu. Dia begitu menyayangi suami dan dua anaknya. Suami dan kedua anaknya suka sekali masakannya. Lalu dia mencari buku masak agar keluarganya tidak bosan dan tidak ingin mereka kecewa dengan masakan-masakannya.
Toko buku ini semakin ramai saja. Banyak sekali wajah yang asing dengan ingatan kita. bahkan kita tidak sempat untuk menghafal orang per orang yang datang. Mengamati apalagi berbincang-bincang dengan pelanggan. Tetapi kamu juga masih sempat mendapat banyak kenalan lewat toko buku ini. Beberapa diantarannya menawarkan buku-buku yang bisa kita jual. Dan itu adalah awal dari gelap yang sebenarnya.         
Hukum waktu mengantarkan ceritanya sendiri. Semua itu kini menjadi ranjau yang merangsak dadaku. Poci harapan dengan sendirinya habis setelah berkali-kali berhasil kutuang. Dan keberangkatanmu menuju sebuah kota dengan teman yang kamu dapat dari toko buku itu adalah harapan yang aku tuang terakhir. Entah mengapa, kamu tiba-tiba mengatakan dengan nafas yang mengambang, dengan mengusap-usap perutku yang tampak sudah membesar –kamu akan baik-baik saja nak,ibumu adalah orang yang sempurna untukmu-. Aku tersentak. Dadaku berdegup dengan cepat. Namun aku juga tidak bisa merumuskan apa-apa dengan kalimat yang kamu ucapkan itu. Baru setelah 3 hari kepergianmu ke kota, pagi mengantar sebuah jawaban yang tidak pernah aku inginkan. Kepulanganmu hanya diwakilkan oleh sebuah nama dan kabar yang samar. Seorang pemuda yang aku kenal sebagai asisten temanmu itu memberi tahuku bahwa mobil yang kamu tumpangi dengan beberapa orang teman terperosok ke jurang. Kini kamu berada di sebuah rumah sakit dengan keadaan kritis. Kamu terus memanggil-manggil namaku. Dan kini aku hanya bisa angluh. Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan. Diriku ingin sesegera mungkin menemuimu dan menciumi tangan lembutmu, dan berlama-lama disampingmu agar tangan gaib tak menyentuhmu untuk saat ini. Tapi diriku yang lain dengan segera mengutukiku, bahwa aku tak boleh mempunyai harapan lagi. Dan yang kedua yang akhirnya aku lakukan. Berdiam dan menunggu di sebuah rumah lengang. Dan yang aku dapati memang hanya kabar di sebuah senja yang menggetarkan lonceng peraduan, bahwa kamu sudah tidak memanggil-manggil namaku lagi, sudah berhenti mengerang, mengejang dan meregang lelah, dan mati. Hanya itu. Tidak lebih. Sedang aku semakin menjadi rajutan dari kisah dan duka yang tak kunjung bisa aku tandaskan.      
Aku kini tak lebih dari seorang yang lingsut, seorang yang resah dan rapuh. Aku tidak punya apa-apa lagi, bahkan tangis untuk mengakhiri ini semua.  Aku memang tidak akan pernah mengerti, mengapa hidup penuh dengan rahasia yang rasanya aku tak pernah bisa menjamahnya, hidup dipenuhi dengan jawaban yang tidak pernah tuntas , bahkan kehidupan di sebuah jalan yang beringas dan liar, kita dapat menemukan segala sesuatu, hal-hal yang sering kita sebut, cinta.

No comments:

Post a Comment