Setelah seharian mencari nafkah,
seorang tukang becak pulang kerumah. Didapati anaknya sedang tekun membaca
entah. Diamati anak lelakinya, tampak mengernyit dahi, lalu memukul-mukulkan
buku ke kepalanya sendiri. Cari tahu saja nanti, mungkin ada baiknya bergegas
mandi. Setelah selesai mandi, ditengoknya lagi anaknya, masih seperti tadi,
tampak mengernyit dahi, lalu memukul-mukulkan buku ke kepalanya sendiri. Tukang
becak itu semakin tidak mengerti, kepada tingkah anaknya yang umurnya baru saja
menyentuh kepala dua. Lalu bapak tukang becak itu menghampiri anaknya, dengan
hati-hati beliau bertanya
“apa yang sedang kau lakukan
nak.”
“aku hanya sedang belajar.”
“memang, apa yang sedang kau
pelajari? Sesuatu yang buatmu kepayang?”
“Aku sedang belajar bagaimana
menjadi laki-laki yang baik.”
Bapak tukang becak itu hanya
tersenyum, menghela nafas, lalu bertanya sekali lagi
“Bukankah dari dulu kau sudah
membacanya, namun kau tidak juga memahaminya?”
Anak itu semakin tidak mengerti.
“bagaimana kalau kau buang saja
bukumu itu dan akan kuberi kau buku yang seharusnya kau baca”
Anak itu mengangguk, kepada
bapaknya dia percaya sepenuhnya
“mana buku itu pak?”
“buku yang harusnya kau baca, ada
dihadapanmu sekarang. Bapakmu sendiri. Mata bapakmu ini adalah jendela untuk
memasuki buku itu. Tubuh bapakmu ini adalah ayat yang menjelaskan buku itu.
Biar bapak perjelas, mungkin akan panjang, semoga kau tidak lebih dulu bosan.”
Anak laki-laki itu sekali lagi
hanya mengangguk
“mungkin bapakmu hanya laki-laki
dengan pekerjaan rendah, namun bapak tak pernah sekalipun lupa pulang kerumah.
Mungkin bapak hanya seorang tukang becak, namun itu jalan yang telah menjauhkan
kita dari berlagak. Bapak takut akan congkak. Mungkin bapak hanya tukang
pengantar, namun bapak tak pernah buat keluarga ini lapar, bagaimanapun
caranya. Mungkin bapak bagian dari buruh kuli, tapi tak sekalipun bapak biarkan
kosong periuk nasi. Mungkin bapak hanya laki-laki yang selalu didera lelah,
namun bapak tak pernah ingin buat keluarga ini payah. Mungkin dunia akan
mengatakan bebal karena bapak memilih becak sebagai pekerjaan. Sedang
kesempatan untuk menjadi lebih begitu lebar. Bapak hanya takut, kita menjadi
sesumbar, karena materi begitu mengumbar. Bapak hanya takut tuhan membenci
kita. Mungkin bapak hanya seorang tukang becak dengan kayuh yang sudah lambat,
tapi bapak tetap kuat. mungkin bapak hanya tukang becak yang sering berkantong
bolong, namun selama halal, komentar mereka tentang apa yang kita jalani hanya
omong kosong. Mungkin pekerjaan bapak membuat percaya dirimu tercabik, namun
sebaik-baiknya laki-laki adalah dia yang bisa memilah jalan yang baik. Mungkin
bapak hanya buku lusuh dan usang, namun semoga, isinya tak membuatmu pantang.
Laki-laki adalah dia yang berdiri dengan kakinya sendiri, menanggung apa yang
telah ia pilih, berani hidup meski nasib sering membuatnya nyeri, dan selalu
berharap ankanya bisa lebih baik dari dirinya sendiri.”
Bapak tukang becak itu kemudian
berlalu menuju ruang tamu. Dan anak lelakinya menyobek secarik kertas. Dengan
mata yang menyala ditulisnya sebuah kata dengan ukuruan besar
-mungkin bapakku hanya tukang
becak, namun dialah laki-laki yang membuatku berdecak-
Ditempelkannya tulisan itu di
dinding hatinya.