Thursday, January 24, 2013

BANJIR

djakarta

Selagi bandang
Air yang tiba-tiba datang
Mendiamkan kota
Mendamaikan kita
Dengan kumuh-kumuh
Bendeng-bendeng lusuh
Nyala kan suluh
Jangan padam seluruh
gorong-gorong
gang-gang kosong
segala yang sekedar penghias
sampah ditepian ruas
beri kami jalan untuk lekas
pulang kerumah
untuk berbenah
oh,luap
biarkan kami terlelap
dalam kota yang gemerlap
gelimang air
gelinjang getir
pulanglah menuju asal
selebih kami memulai sesal
kepada arus-arus alir
entah muasal hilir
yang sedang naik semaunya
jangan kau seret semuanya


Jogjakarta 2013

Thursday, January 17, 2013

NASIBMU DIBUNGKUS ROTI

Kedalaman paling sunyi, terlebih hati
Keluguan semesta, protokoler negara, kitab-kitab agama
Adakah kami masih mempercayainya?

Kau masih tertunduk, sedang lebam wajahmu semakin biru. Tanganmu dingin, borgol yang terpasang di pergelanganmu juga dingin, juga wajah dua orang berseragam dihadapanmu, dingin. Kau tidak berani menatapnya. Hanya lantai yang putih kusam kau lihat lekat-lekat seperti menerawangi keriuhan tadi sore. Masih terasa. Masih sangat terasa hangat wajahmu dengan luka-luka merah. Memendam gundah di kejauhan sana. Pucat wajahmu yang beradu warna dengan merah dan biru itu semakin membuatmu buruk rupa yang sial. Plak!! Satu pukulan mendarat di wajahmu, lagi.
“jawab!! Mengapa kau mencuri ha?!”
Tamparan dan pertanyaan tegas itu tak membuatmu gusar. Hanya terkejut sebentar, lalu tertunduk lebih dalam lagi menatap lantai dengan lekat. Bayangan-bayangan berlalu silang diatas lantai. Tembok-tembok kota. Jalan-jalan kota yang ramai bising, kota bising yang mengasingkanmu. Orang-orang didalam bangunan-bangunan tinggi menjulang. Orang-orang yang tak kenal luang. Di sebuah bangunan supermarket kau berhenti. Diam. Bibir kau gigit berkali-kali sedang keringat keluar dari kepal tanganmu. Miskin tak membuat kau menyerah. Nasib tak membuat kau rebah. Namun lapar selalu menagih untuk cepat dibayar dengan tuntas. Demam dan lapar tarik-menarik dalam pikiranmu.  Satu helaan nafas, cukup satu helaan nafas kau butuhkan untuk membumbungkan nyali untuk memasuki supermarket itu. Nyalang matamu menyala diantara titik keragu-raguan.
Plak!! Satu pukulan lagi semakin mempertegas bayangan-bayangan itu. Deretan angka-angka, deretan kaleng-kaleng, harum ac dan sedikit keberanian di dalam dadamu. Kau berdiri di deretan roti. Bungkus-bungkus roti kau baca satu per satu seolah kau sedang membaca nasibmu disitu. Kau temukan satu. Waktu yang kadaluarsa di bungkus roti. Kau masukan kedalam saku jaketmu. Lalu dengan gegas kau pergi menuju pintu. Hanya kau lupa, kau tertinggal dunia, kadaluarsa tetap memiliki harga. Tetap bernilai dalam mata mereka. Mesin itu, kau melewatkannya, kau melewatinya, lalu berbunyi begitu nyaring. Kerumunan berpaling. Seorang petugas keamanan menggeledahmu dan kau tinggal pasrah. Larilah, lari. Tapi suaraku tenggelam dalam teriakan mereka. Petugas membawamu keluar, namun orang-orang dengan cepat menemukan wajahmu. Sekejap kerumunan membuat wajahmu biru. Apakah memang hukuman Tuhan segeram kepal tangan mereka? Apakah hukuman tuhan selalu meninggalkan bilur-bilur yang belur? Aduhmu juga tenggelam. Ah, segalanya kini tenggelam, bahkan untuk harapan.
Plak!! Pukulan ketiga. Membuatmu semakin tertunduk. Jika kedalaman paling dalam bisa kau jangkau, mungkin kau sudah masuk kesana. Namun kedalaman itu tak pernah kau temukan dalam lantai kusam itu, juga supermarket yang rotinya kau curi itu, juga orang-orang yang memukuli itu, juga dunia yang membuatmu pilu.
“mengapa kau mencuri hei?!”
“sudahlah, percuma juga ditanyai, masukkan saja ke sel lalu kita buat laporannya. Aku sudah mengantuk, ingin pulang cepat-cepat.”
“yasudah, aku juga malas berurusan dengan maling kelas teri begini, gak ada duitnya. Ayo ikut!”
Tangannya menggamit lenganmu dengan kasar. Seketika, bibirmu bergerak, berbicara dengan terbata
“maaf pak, saya boleh minta tolong, anak saya yang demam dan lapar menunggu saya digubuk. Tolong berikan roti ini kepadanya, jika sempat.”

Sunday, January 6, 2013

DURHAKA

percik air hujan yang menipu cuaca ini
Tak sepicik jelalat kedurhakaanku kepadamu
Masih tentang rintik airmata di malam penghujan itu
Aku kecipak air pada deras asih asuh yang tak pernah terbaca musim
Hanya ibu yang mampu membuat hujan begitu lebat namun teduh
Hanya ibu yang mampu menyuguhkan teguk air dari derai peluh
Tak pernah selesai meski berkali kutenggak ganas
Mungkin sudah kemarin dahaga kasih ini ibu ranggas
Sedang berkali bantahku pangkas
Sekali selesai helaan nafas
Ibu teliti ibu lembut ibu tenang ibu maklum ibu ibu ibu dari segala ibu
ibu yang pintar ibu yang cekat ibu yang iba ibu yang jadi abu

Ibu, hukum aku!!
Bentakku berkali-kali menyahut
Ibu, kutuk aku!!
Hanya menjadi batu aku patut

Jika ingin, petakan luas dunia menjadi satu
Tujuh kali lipatkan sepadan dengan sabarmu
Jika mau, tangkup segala laut semesta
Terkira setetes ricik asihmu yang turun dari mata
Jika masih, terjemahkan segala bahasa
Aku ucapkan dalam sungkurku dipintu surga yang tersisa
Maaf pernah menjadikanmu nelangsa

Didepan pusara ibu, hanya ada aku, foto ibu, dan kenangan yang binal
kubasuh tanah dengan basah sengal
Barangkali airmata hanya gerimis mula pada hujan sesal

ibu kau tahu, sepeninggalmu, aku hanya sepenggal lalu