Thursday, January 17, 2013

NASIBMU DIBUNGKUS ROTI

Kedalaman paling sunyi, terlebih hati
Keluguan semesta, protokoler negara, kitab-kitab agama
Adakah kami masih mempercayainya?

Kau masih tertunduk, sedang lebam wajahmu semakin biru. Tanganmu dingin, borgol yang terpasang di pergelanganmu juga dingin, juga wajah dua orang berseragam dihadapanmu, dingin. Kau tidak berani menatapnya. Hanya lantai yang putih kusam kau lihat lekat-lekat seperti menerawangi keriuhan tadi sore. Masih terasa. Masih sangat terasa hangat wajahmu dengan luka-luka merah. Memendam gundah di kejauhan sana. Pucat wajahmu yang beradu warna dengan merah dan biru itu semakin membuatmu buruk rupa yang sial. Plak!! Satu pukulan mendarat di wajahmu, lagi.
“jawab!! Mengapa kau mencuri ha?!”
Tamparan dan pertanyaan tegas itu tak membuatmu gusar. Hanya terkejut sebentar, lalu tertunduk lebih dalam lagi menatap lantai dengan lekat. Bayangan-bayangan berlalu silang diatas lantai. Tembok-tembok kota. Jalan-jalan kota yang ramai bising, kota bising yang mengasingkanmu. Orang-orang didalam bangunan-bangunan tinggi menjulang. Orang-orang yang tak kenal luang. Di sebuah bangunan supermarket kau berhenti. Diam. Bibir kau gigit berkali-kali sedang keringat keluar dari kepal tanganmu. Miskin tak membuat kau menyerah. Nasib tak membuat kau rebah. Namun lapar selalu menagih untuk cepat dibayar dengan tuntas. Demam dan lapar tarik-menarik dalam pikiranmu.  Satu helaan nafas, cukup satu helaan nafas kau butuhkan untuk membumbungkan nyali untuk memasuki supermarket itu. Nyalang matamu menyala diantara titik keragu-raguan.
Plak!! Satu pukulan lagi semakin mempertegas bayangan-bayangan itu. Deretan angka-angka, deretan kaleng-kaleng, harum ac dan sedikit keberanian di dalam dadamu. Kau berdiri di deretan roti. Bungkus-bungkus roti kau baca satu per satu seolah kau sedang membaca nasibmu disitu. Kau temukan satu. Waktu yang kadaluarsa di bungkus roti. Kau masukan kedalam saku jaketmu. Lalu dengan gegas kau pergi menuju pintu. Hanya kau lupa, kau tertinggal dunia, kadaluarsa tetap memiliki harga. Tetap bernilai dalam mata mereka. Mesin itu, kau melewatkannya, kau melewatinya, lalu berbunyi begitu nyaring. Kerumunan berpaling. Seorang petugas keamanan menggeledahmu dan kau tinggal pasrah. Larilah, lari. Tapi suaraku tenggelam dalam teriakan mereka. Petugas membawamu keluar, namun orang-orang dengan cepat menemukan wajahmu. Sekejap kerumunan membuat wajahmu biru. Apakah memang hukuman Tuhan segeram kepal tangan mereka? Apakah hukuman tuhan selalu meninggalkan bilur-bilur yang belur? Aduhmu juga tenggelam. Ah, segalanya kini tenggelam, bahkan untuk harapan.
Plak!! Pukulan ketiga. Membuatmu semakin tertunduk. Jika kedalaman paling dalam bisa kau jangkau, mungkin kau sudah masuk kesana. Namun kedalaman itu tak pernah kau temukan dalam lantai kusam itu, juga supermarket yang rotinya kau curi itu, juga orang-orang yang memukuli itu, juga dunia yang membuatmu pilu.
“mengapa kau mencuri hei?!”
“sudahlah, percuma juga ditanyai, masukkan saja ke sel lalu kita buat laporannya. Aku sudah mengantuk, ingin pulang cepat-cepat.”
“yasudah, aku juga malas berurusan dengan maling kelas teri begini, gak ada duitnya. Ayo ikut!”
Tangannya menggamit lenganmu dengan kasar. Seketika, bibirmu bergerak, berbicara dengan terbata
“maaf pak, saya boleh minta tolong, anak saya yang demam dan lapar menunggu saya digubuk. Tolong berikan roti ini kepadanya, jika sempat.”

No comments:

Post a Comment