Kedalaman paling sunyi, terlebih hati
Keluguan semesta, protokoler negara, kitab-kitab agama
Adakah kami masih mempercayainya?
Kau masih tertunduk, sedang lebam
wajahmu semakin biru. Tanganmu dingin, borgol yang terpasang di pergelanganmu
juga dingin, juga wajah dua orang berseragam dihadapanmu, dingin. Kau tidak
berani menatapnya. Hanya lantai yang putih kusam kau lihat lekat-lekat seperti
menerawangi keriuhan tadi sore. Masih terasa. Masih sangat terasa hangat
wajahmu dengan luka-luka merah. Memendam gundah di kejauhan sana. Pucat wajahmu
yang beradu warna dengan merah dan biru itu semakin membuatmu buruk rupa yang
sial. Plak!! Satu pukulan mendarat di wajahmu, lagi.
“jawab!! Mengapa kau mencuri
ha?!”
Tamparan dan pertanyaan tegas itu
tak membuatmu gusar. Hanya terkejut sebentar, lalu tertunduk lebih dalam lagi
menatap lantai dengan lekat. Bayangan-bayangan berlalu silang diatas lantai.
Tembok-tembok kota. Jalan-jalan kota yang ramai bising, kota bising yang mengasingkanmu.
Orang-orang didalam bangunan-bangunan tinggi menjulang. Orang-orang yang tak
kenal luang. Di sebuah bangunan supermarket kau berhenti. Diam. Bibir kau gigit
berkali-kali sedang keringat keluar dari kepal tanganmu. Miskin tak membuat kau
menyerah. Nasib tak membuat kau rebah. Namun lapar selalu menagih untuk cepat
dibayar dengan tuntas. Demam dan lapar tarik-menarik dalam pikiranmu. Satu helaan nafas, cukup satu helaan nafas kau
butuhkan untuk membumbungkan nyali untuk memasuki supermarket itu. Nyalang
matamu menyala diantara titik keragu-raguan.
Plak!! Satu pukulan lagi semakin
mempertegas bayangan-bayangan itu. Deretan angka-angka, deretan kaleng-kaleng,
harum ac dan sedikit keberanian di dalam dadamu. Kau berdiri di deretan roti.
Bungkus-bungkus roti kau baca satu per satu seolah kau sedang membaca nasibmu
disitu. Kau temukan satu. Waktu yang kadaluarsa di bungkus roti. Kau masukan
kedalam saku jaketmu. Lalu dengan gegas kau pergi menuju pintu. Hanya kau lupa,
kau tertinggal dunia, kadaluarsa tetap memiliki harga. Tetap bernilai dalam mata
mereka. Mesin itu, kau melewatkannya, kau melewatinya, lalu berbunyi begitu
nyaring. Kerumunan berpaling. Seorang petugas keamanan menggeledahmu dan kau
tinggal pasrah. Larilah, lari. Tapi suaraku tenggelam dalam teriakan mereka. Petugas
membawamu keluar, namun orang-orang dengan cepat menemukan wajahmu. Sekejap
kerumunan membuat wajahmu biru. Apakah memang hukuman Tuhan segeram kepal
tangan mereka? Apakah hukuman tuhan selalu meninggalkan bilur-bilur yang belur?
Aduhmu juga tenggelam. Ah, segalanya kini tenggelam, bahkan untuk harapan.
Plak!! Pukulan ketiga. Membuatmu
semakin tertunduk. Jika kedalaman paling dalam bisa kau jangkau, mungkin kau
sudah masuk kesana. Namun kedalaman itu tak pernah kau temukan dalam lantai
kusam itu, juga supermarket yang rotinya kau curi itu, juga orang-orang yang
memukuli itu, juga dunia yang membuatmu pilu.
“mengapa kau mencuri hei?!”
“sudahlah, percuma juga ditanyai,
masukkan saja ke sel lalu kita buat laporannya. Aku sudah mengantuk, ingin
pulang cepat-cepat.”
“yasudah, aku juga malas
berurusan dengan maling kelas teri begini, gak ada duitnya. Ayo ikut!”
Tangannya menggamit lenganmu
dengan kasar. Seketika, bibirmu bergerak, berbicara dengan terbata
“maaf pak, saya boleh minta
tolong, anak saya yang demam dan lapar menunggu saya digubuk. Tolong berikan
roti ini kepadanya, jika sempat.”