baru tadi pagi, berita tentang
kita disiarkan hampir semua surat kabar ibu. Tidak pernah aku dikenal oleh orang sebanyak ini.
banyak orang membaca cerita kita dengan takdzim dihadapan sarapan mereka,
sarapan yang hanya bisa kita bayangkan. Mungkin karena cara mati kita yang
begitu hebat ibu. Aku yakin bukan karena alasan mengapa kita membunuh diri, aku
yakin itu. Foto yang mereka pasang, bukan saat ibu menggendongku dalam keadaan
busung lapar, tetapi saat aku dalam pelukanmu padahal kita sudah menjadi abu.
Mungkin juga di negeri ini, sebuah kematian dengan cara-cara yang aneh menjadi
lauk terbaik untuk sarapan mereka. Dan tangis kita hanya kicauan yang harus
terus bergema agar kota besar tidak hilang kesaktiannya. Siapa yang kuat boleh
tinggal semaunya, pun untuk menggusur yang dinilai tidak menghasilkan apa-apa
untuk pembangunan kota. Kita ibu, kita salah satu dari yang tidak menghasilkan
apa-apa itu.
Dalam beberapa jam kemudian, kita
menjadi orang terkenal. Orang-orang mulai riuh membicarakan kita. Di televisi-televisi,
mereka membentuk sebuah forum diskusi yang membahas mengapa masih ada orang
seperti kita sedangkan negara mengaku perekonomian sedang meningkat. Mereka
saling melemparkan pertanyaan, lalu dijawabnya dengan mengggebu-gebu, segala
macam teori berhamburan di diskusi itu. Mereka
semua orang pintar ibu. Enak ya jadi orang yang pintar, hanya bicara
saja dibayar, atau orang pintar memang hanya pandai bicara. Toh aku tidak
pernah melihat mereka menyambangi gubuk kita dan melakukan apa yang dari tadi
dibicarakannya. Pembual. Penipu, teori saja. Para pejabat pemerintah ikut ambil
bagian, mereka berbondong-bondong menengok kuburan kita ibu, lucu sekali. Dan
lihat, presiden kita juga berpidato tentang kematian kita. Dia tampak sedih
ibu, kasihan ya. Mengapa semua orang begitu peduli setelah kita mati ibu.
Kemana mereka selama ini. ketika kita hanya bisa menangis untuk mengganjal
lapar kita, ketika ibu hanya bisa membeli seliter minyak tanah dan satu kotak
korek api. Bukankah kematian menghentikan semuanya, bahkan untuk sebuah
kepedulian. Mati ya mati, pulang ke pelukan tuhan, itu saja. Atau, memang sudah
menjadi tradisi di negeri ini bahwa kematian seseorang lebih berarti dari hidup
orang tersebut. Negeri aneh, berani mengaku merdeka sedangkan untuk peduli
terhadap anak yang masih hidup saja tidak mampu. Tetapi seperti yang aku tahu,
hal seperti ini tidak akan berlangsung lama. Hanya menjadi formalitas
kenegaraan, rutinitas sepanjang tahun, santapan media yang hangat kemudian
dibiarkan menghilang karena sudah basi. Sedang teman-temanku disana masih
banyak yang mencoba menekuri garis hidupnya, sambil dihimpit rasa lapar yang
selalu tamak. Ya, hanya sesaat kemudian hidup akan berjalan seperti biasanya.
Perubahan, cita-cita reformasi katanya ibu. Perubahan kekuasaan iya, perubahan
keadilan, aku tidak yakin.
Kita sudah mati ibu. Dan diatas
sini aku bisa melihat jelas semuanya. Melihat kepura-puraan yang terus
berlangsung. Dari sini, aku bisa tertawa ngakak. Manusia ternyata memang lucu
kalo dilihat dari atas sini. Pantas saja malaikat selalu bahagia, terhibur
melihat kekonyolan-kekonyolan yang terjadi. Kita sudah mati ibu, dan hanya cara
itu yang bisa kita lakukan untuk menuntaskan hidup yang tak kunjung tuntas.
No comments:
Post a Comment