Tuesday, May 1, 2012

Mahabarata menggugat; Gugur Purwa



Angin subuh itu merubuh, mengantarkan suara gemericik air dari keran belakang rumah yang kau buka dengan hati-hati. Sebuah lonceng yang mengabarkan bahwa kau baik-baik saja, kau pulang dengan keadaan baik-baik saja. Sebentar lagi, kau akan menggelar sajadah lusuhmu, lalu kau ikrarkan sujudmu sebagai sumpah bahwa kau adalah hamba yang tidak pernah berputus asa, wejangan yang selalu kau ulang setiap pagi saat kau menggoyangkan tubuhku, menyibak selimut dan berbisik dengan lembut –manusia yang hebat adalah manusia yang tidak kenal putus asa, dan ibadah adalah bukti kepadaNya- Apa yang harus aku buktikan ibu, jika semacam rasa putus asa sekalipun sudah tidak mampu aku tandaskan. Apa yang harus aku buktikan, jika kemudian tatapanku pilu ketika melihatmu duduk tersudut di atas sajadahmu, menangis dengan raut yang berbeda dengan senyummu saat kau membangunkanku meski dengan mata sayu itu? Bukankah Tuhan maha mendengar Ibu? Lalu apa yang sedang dia lakukan? Ah, tentu saja kau akan menyela dengan segera atas pertanyaanku ini. Tentu kau akan mengatakan Tuhan punya rencana hebat untuk kita disini, dan masih dengan senyummu itu. Senyum yang selalu aku lihat di ambang kaca besarmu, senyum yang kau tautkan di meja rias yang menjadi altar gelanggangmu, lalu kau mulai merias wajahmu mala mini, merapikan sanggulmu, memilih kebaya yang kau tata rapi di lemari, di pojok kamar ini. Kau berdiri mencium keningku, lalu pergi. Rombongan waranggana telah menunggu diluar rumah. Tentu aku tidak boleh ikut, karena esok aku harus berangkat ke sekolah. Tetapi jika hari esok libur, pasti kau mengajakku.
Kau tahu ibu, kini segalanya itu terasa getir bagiku. Akhir-akhir ini, prosesi-prosesi itu semakin jarang kau lakukan. Satu bulan terakhir, hanya dua kali, itupun satu panggilan dari kampung sebelah. Entah aku harus riang karena kau bisa berada dirumah sepanjang malam, mendongengkan kisah-kisah leluhur yang telah usang, menembangkan asmarandana dengan sangat sempurna, kidung kesukaanku, sembari mengusap-usap punggungku menjelang tidur. Atau haruskah aku berduka karena itu berarti kita akan semakin kurang gizi, atau malah mungkin esok kita harus berpuasa, lagi.
Tapi aku senang memperhatikanmu ibu. Saat kau bercanda dengan petruk, gareng, dan bagong yang selalu saja menggodamu, saat para waranggana bermain senggakan yang kau ikuti dengan sempurna. Kau pernah berkata bahwa itu adalah Goro-goro, dimana saat punakawan keluar dan pentas mencair menjadi jenaka. Akankah mereka, para punakawan itu kecewa dengan masa kini, ibu? Tetapi, yang begitu indah adalah saat kau mengalunkan tembang-tembang itu. Ada semacam desir yang memuncak hingga ke kepalaku, kakiku bergetar begitu suaramu meninggi dan nada-nada itu pasang surut begitu saja, sangat indah. Tembang-tembang itu konon, menurut ceritamu, diciptakan untuk menghormati leluhur dan nenek moyang, sebagian lagi diciptakan untuk menghibur dewa-dewi khayangan. Tetapi mengapa hampir semua teman-temanku tidak mengerti dan tidak suka dengan tembang-tembang itu. Apakah mereka tidak memiliki nenek monyang, ibu? Kata teman-temanku, tembang yang bagus itu adalah tembang yang sering muncul di tv. Bahkan teman-temanku sering menyanyikannya saat istirahat, kecuali aku. Entah aku tidak begitu suka dengan lagu-lagu itu ibu. Yang dibicarakan dalam lagunya itu-itu saja. Kalau yang sering di tv itu, punya nenek monyang juga tidak ibu? Ah, nenek monyang mereka pasti marah, karena lagu-lagunya membosankan.
Aku ingin menjadi sepertimu, ibu. Waktu aku ceritakan ini ke teman-temanku, mereka malah menertawakanku. Kata mereka –apa hebatnya sinden?- mereka tidak mengerti ibu, atau bisa jadi teman-temanku tidak pernah memegang sebuah teori pengharapan. Kadang, aku sendiri tidak mengerti dengan mereka ibu. Saat istirahat, yang sering mereka bicarakan pasti tentang sinetron-sinetron tadi malam. Sedang aku sering mengernyit tidak mengerti tentang sinetron-sinetron itu. Apa yang menjadi menarik untuk diceritakan ketika ada sebuah acara dengan musik latar yang selalu mencekam, dan aku sering mendapati kesedihan dan tangisan dibandingkan dengan pesan untuk anak seperti kami. Disitu banyak sekali kejahatan ibu, yang semakin memperjelas bahwa tontonan itu jahat buat kami. Itu untuk semua hal, lelucon, kesukaan, dan gaya penampilan. Aku menjadi bingung ibu, katamu pementasan wayang itu dijadikan bukti syukur kita kepada Tuhan. Untuk melestarikan budaya kita, dan sering dijadikan pesta rakyat. Tetapi kata teman-temanku aku terlalu kuno. Pesta itu adalah pita warna-warni, ada kue dan musik yang hingar bingar untuk  dansa-dansi. Benarkah aku terlalu kuno ibu? Atau zaman yang terlalu cepat hingga kita tidak sadar telah dilewatinya? Itu mungkin aku memang tidak semakin mengerti ibu.
Kapan aku akan dewasa, ibu? Agar kau bisa mengajarkan bagaimana menjadi sinden yang baik sepertimu, hati-hati, hati-hati, santun, santun, dan hati-hati. Kapan kau akan mengajarkan mantra-mantra, agar pentas malam ini mendapat berkah dan tidak melewati batas keramat. Agar kau bisa melatihku menghapal tembang macapat dan kidung kidung yang selaras. Agar kita bisa bersama-sama menghibur dewa-dewi khayangan. Agar kita bisa menjadi mengejar zaman, dan kemudian memintanya berhenti agar dewa-dewa dan nenek moyang membangun kembali peradaban megah yang telah lindap, yang kini telah digantikan sebuah perdaban yang sangat rumit.
Kalau ayah masih ada, apakah ibu masih meratap di sajadah lusuh itu? Kanker itu makhluk apa sih ibu? Aku jadi benci dengan makhluk itu, dia jahat sama kita karena telah mengambil ayah. Kalau kita kidungkan tembang macapat, apakah makhluk itu akan mengembalikan ayah? Katamu, kidung-kidung dalam pewayangan bisa membuat orang menjadi baik. Tetapi sekarang banyak orang yang berlaku jahat terhadap kidung-kidung itu, ibu.
Ah, kau telah selesai dengan urusanmu dibelakang rumah, aku menarik selimut dan pura-pura tidur. Sebentar lagi, kau akan menggoyangkan badanku dan berkata dengan lembut, -manusia yang hebat adalah dia yang tak kenal putus asa, dan ibadah adalah bukti kita kepadaNya-
***
Pagi ini mulai tersengal, seperti nafasku yang memberat di lantai yang dingin. Aku berrmaklumat kepada fajar bahwa aku sedang baik-baik saja, menggelar sajadah lusuhku dengan baik-baik saja, jauh sebelum ini, tanah kami baik-baik saja.
Aku seperti berdiri di atas tanah yang menggilas tuannya sendiri. Bisa jadi, aku tersesat ke dalam rimba peradaban yang aneh. Aku tidak hilang ingatan, aku ingat bahwa aku hidup di negeriku sendiri, dimana aku lahir dan dibesarkan dengan dongeng-dongeng dan cerita rakyat. Tetapi mengapa aku linglung, mengapa aku asing dengan tanah ini? Banyak yang kini tidak aku mengerti, percakapan, sapa salam, transakasi yang diatur oleh mesin-mesin, orang yang tergesa-gesa, budaya yang semakin murung.
Kami tidak pernah mengerti ketika sanggar kami digusur, orang-orang berseragam mengusung gamelan dan wayang-wayang dengan kasar, lalu melemparkannya begitu saja. Mereka berteriak untuk pembangunan dan demi kesejahteraan rakyat, lalu siapakah kami ini? Dengan tiba-tiba semua tanah menjulang tinggi, mal-mal, bangunan-bangunan yang angkuh, hotel, restoran-restoran yang semakin menyudutkan kami. Jika ada sebuah peristiwa penting di negeri ini, kami akan digirng dan diberikan sosialisasi katanya, -pilihlah yang melestarikan budaya dan mensejahterakan budayawan, tertuama wayang, karena itu adalah warisan nenek moyang, pilihlah partai kami- tetapi dengan cepat kami sadar, ucapan itu hanya sampai sebatas kami memasukkan suara kami ke dalam kotak-kotak. Bukan sebuah harapan, hal itu semakin mempertegas bahwa kami memang dikucilkan di negeri kami sendiri.
Dulu, jika di suatu tempat mempunyai hajat, kami pasti ikut ambil bagian didalamnya. Kami adalah acara puncak, yang paling ditunggu oleh masyarakat. Lalu kami akan meminta berkah dan restu dari dewa dan nenek moyang untuk menggelar pementasan. Tetapi sekarang dewa-dewa semakin jauh, mantra-mantra kalah cepat dengan transaksi-transaksi, percakapan dengan kabel telepon, mesin penghitung belanja,dan nenek moyang, sesuatu yang aneh dibicarakan apalagi diperdebatkan. Dulu, ketika aku menggelar sajadah lusuhku, aku menganggap ini adalah sebuah takdir. Tetapi dengan sendirinya aku menolak teori itu. Apakah memang Tuhan mengirimkan sebuah budaya baru untuk menggerus habis budayaku, budaya yang dengan rikat diturunkan dari masa ke masa untuk dijaga dan dirawat baik-baik. Apakah memang Tuhan mengirimkan sebuah peradaban baru, yang didalamnya adalah orang-orang yang membabat budaya mereka sendiri? Anak perempuanku lah satu-satunya yang selamat dari peradaban ini. Entah, bagaimana dia bisa lolos dari kepungan kotak 14 inchi, dari segala macam urusan yang protokoler dan benda-benda digital yang membangun sebuah kelayakan zaman. Mungkin Tuhan mendengar doaku, doa sebelum aku menembangkan asmarandana menjelang tidur, doa setelah aku mengikrarkan sujudku saat shubuh, dan kemudian Tuhan mengirimkan dewa-dewa untuk menjaga anakku dari dunia yang tidak lagi dibangun dengan dongeng-dongeng dan cerita rakyat. Tetapi di diriku yang lain, aku pilu, bahwa anakku mempunyai bakat untuk menjadi seorang sinden dan selalu merengek untuk diajarkan bagaimana menjadi sepertiku sekarang. Dengan aku merumuskannya, maka aku akan semakin menjauhkannya dari teman-temannya, dari segala hiruk pikuknya perdaban kini. Aku ingin mengajarkan bagaimana mengatur nafas saat nada tinggi, merapal mantra-mantra, menghafal kidung-kidung. Ingin aku wariskan cerita-cerita, nama tokoh wayang dengan segala sifatnya, akankah aku wariskan sesuatu yang tidak lama lagi bagi sebuah generasi hanya sebuah omong kosong?
Pada peristiwa yang lain, orang-orang anak peradaban ini, teriak dan marah ketika budaya kami yang lain lari ke negeri tetangga, mencari benteng agar kami tak binasa dengan sia-sia. Adakah yang lebih menyakitkan daripada dibunuh oleh tanah kami sendiri? Kami pun tidak bisa menyalahkan jika kemudian disana budaya kami dirawat dan dijunjung tinggi. Dan jika pementasan kami semakin aus, berderit di tengah pembangunan dan rutinitas peradaban asing ini, mungkin tidak lama lagi kami akan menyusul kesana, agar dewa-dewi khayangan tetap mendengar kidung-kidung dan tembang yang selaras, agar nenek moyang kami tidak kecewa nantinya, dan agar aku tetap menjadi bagian dari budayaku sendiri. Disini, budaya adalah sesuatu yang getir, anak peradaban kini, telah mempunyai budaya yang baru, dan kami, ah seandainya kalian tahu.
Di setiap khusyuk sujudku, di tengadah tangisku yang semakin parau, lalu di setiap fajar yang kuketuk dengan lembut, aku selalu bertanya :
 : apa yang membuatmu lupa pada pentas yang retas di tanahmu sendiri?
     

No comments:

Post a Comment